Sabtu, 12 Agustus 2017

7-6-17

Ketika ku melihatmu
Aku melihat seekor kupu-kupu
Serangga terindah, pikirku
Inginku menggenggammu
Tapi aku luput
Kau adalah kupu-kupu
Hinggap dari bunga yg satu
Ke bunga yang kau mau.

Ketika ku melihatmu
Kau seperti bintang, pikirku
Menerangi kegelapan malamku
Inginku menggapaimu
Tapi aku lagi-lagi luput
Kau adalah bintang
Bukan hanya menerangi malam-malamku
Tapi juga malam-malam yang menginginkanmu

Hai. Manis. Memang.

Hai fe, apakabar?
Aku ingat saat aku tiba-tiba berhenti dijalan untuk menyatakan cintaku padamu, tp kau malah malu dan berkata "telat ih, naek udh"
Aku ingat saat sibukmu menjadi kpu, kau tetap menjalankan tanggung jawab hingga rela menangis karena timmu meninggalkanmu saat itu.
Aku ingat bagaimana kau membuat raut wajahmu tetap cool saat pertama kali bertemu ibu.
Aku ingat semua itu.
Fe, waktu kita tak lama. Maaf aku sering mengecewakanmu di akhir waktu kita. Tak banyak yg kita bisa perbuat saat itu.
Fe, waktu kita juga tak sebentar. Aku pun berterima kasih atas semua pelajaran yang kau berikan padaku. Aku benar-benar belajar.
Fe, meskipun kita tak lagi sama-sama, bukankah kita tetap bisa bersama-sama dalam doa? Aku hanya meminta beberapa pada Allah swt, Tuhanku. Menuntunmu dalam menggapai impianmu. Menjagamu dalam setiap jalanmu. Memberikan yang terbaik kepadamu dalam setiap keputusanmu.
Fe, bukan. Bukan maksudku mengingatkanmu akan masa lalu. Bukan maksudku berkata manis agar kau kembali padaku. Aku sadar, ada Allah kan?.
Aku hanya ingin berterima kasih atas semua waktu dan pelajaran darimu.
Kelak bila kita dipertemukan kembali, kita adalah orang yang siap. Namun bila tidak, temui aku dalam setiap doamu. Mintalah yang terbaik untuk dirimu dan orang yang kamu sayangi. Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi?

“Hari ini saja. biarkan rindu bercerita kepadaku tentang suaramu yang waktu itu berbicara padaku. tentang aku yang selalu malu jika berhadapan denganmu. diam, tidak bisa berbicara lebih banyak lagi.” - Bunga Alfi 

“Sebab doa adalah payung bagi rindu-rindu yang hujan.” - Dina Zettira Putri

Jumat, 04 September 2015

TERIMAKASIH..

Ya hanya itu yang kubisa ucap. Hanya kata itu yang dapat menggambarkan perasaan yang tak terucap. Kata simpel namun tepat yang tak banyak cakap.

6 bulan (menurutku) aku menjalani hari-hari bersama dirimu. 6 bulan pengalaman yang pertama terjadi dalam hidupku. Tawa, gembira, senang, sedih kurasakan itu ketika bersama, aku dan kamu.
Tak cukup sampai disitu. Banyak pelajaran yang kuambil darimu. Bahwasanya angan-angan bisa sangat mendorongku. Mendorongku untuk tetap bersamamu. Mungkin bukan angan-angan, lebih tepatnya motivasi untuk mengganti kata itu.

“Mungkin kita akan miliki rasa, ketika kita tetap berusaha untuk bersama”

Motivasi bagi seorang pemula sepertiku untuk bertahan. Lagipula aku menyayanginya, tak ada alasan bagiku dirinya kutinggalkan. Mungkin aku saja yang berlebihan dalam menafsirkan.

Hingga ku menyadari suatu hal. Ketika hati akhirnya mengalah pada akal.

Aku terlalu sering menuntut dirimu. Rasa bersalah terus menghantuimu. Kamu gak bisa apa-apa dan gakbisa kemana-mana karena diriku. Cinta yang seharusnya kamu miliki, kamu lepas hanya untuk menjaga hubungan ini, hubungan aku dan kamu.

Suatu hal yang sudah lama kuketahui. Namun baru kini kusadari. Aku terlalu memaksakan hubungan ini. Yang kamu lakukan, menjaga perasaanku, tak lebih.

Aku harus sadar. Meskipun hingga detik aku menuliskan ini, aku masih. Masih menyanyangimu. Masih memikirkanmu.

Kamu pantas untuk cinta yang lainnya. Cinta yg belum dan mungkin tak akan menjadi milik kita. Semoga setiap langkahmu selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Terimakasih….., es :).

Rasa



Aku mencoba terbangun. Namun aku tak mengenali sekelilingku.
Perlahan, aku mencoba terbiasa. Tapi dunia terasa begitu asing.
Kupaksakan namun ada rasa yang mengganjal.

Rasa ini hadir kembali dikala aku berusaha. Berusaha berlari dari padang harapan.
Rasa ini semakin kuat menghantui dikala aku berusaha. Berusaha terbangun dari mimpi ini.
Rasa ini terus berada dipikirin dan hati dikala aku berusaha. Berusaha terbiasa dengan kenyataan ini.
Rasa ini mencoba menarik ku kembali. Kembali ke tempat sebelumnya aku berada.

Rasa ini mulai menebar jangkarnya dipikiran dan hati.
Rasa ini berusaha dan terus berusaha.
Rasa ini tak bisa diungapkan selain dengan kata bernama rindu.

Ah, aku rindu. Rindu dengan senyumnya. Rindu dengan tawanya. Rindu dengan ceritanya. Rindu dengan suaranya. Rindu dengan semua hal yg dilakukannya bersamaku.
Aku rindu dengan caranya menggigitku.

Kamis, 11 Juni 2015

Samar. Tak Jelas.



Aku terbangun, terbangun dari mimpiku. Tapi aku bingung, sejauh mataku memandang hanyalah ada hamparan pasir disekelilingku. Pandanganku pun samar-samar akan sekelilingku itu karena hari sudah larut. Aku berusaha berlari, berlari, dan berlari. Aku juga berusaha mencari, mencari, dan mencari. Tapi nihil, aku tak mendapatkan apa-apa. Aku tetap berusaha, berusaha, dan berusaha. Aku juga tetap bertahan, bertahan, dan bertahan. Tapi lagi-lagi nihil.
Aku ingin tetap berusaha, bertahan, berlari dan mencari, tapi tidak dengan kondisi diri. Kondisi diri tidak bisa menerima keadaan yang tidak jelas ini, berbanding dengan ego dan hati ini. Ego dan hati tetap percaya, percaya pada akhirnya kau akan mendapatkannya, mendapatkan apa yang kau inginkan. Semakin hari kepercayaan itu sedikit memudar.
Ingin rasanya aku kembali tidur dan bermimpi. Melakukan semua yang inginkan, mendapatkan semua yang kuinginkan. Namun, itulah kenyataan ku saat ini. Aku berada diruang yang sangat luas. Ruang yang entah ada dimana, di hati atau pikirannya. Ruang yang entah dimana aku berada, dimana aku ditempatkan olehnya. Ruang yang entah sampai kapan dapat menampungku didalam dirinya.
Aku hanya ingin mengetahui. Aku hanya ingin jelas. Dimana aku berada. Apakah diruang yang sama dengan Pohon Harapannya didalam dirinnya? Ataukah aku berada didalam ruang yang sama dengan Pohon Kepercayaannya?
Tapi aku yakin seseorang tak pernah bisa menempatkan kedua hal didalam ruangan itu. Itu adalah ruang hati. Aku yakin. Dimana dia pernah menempatkan Pohon Harapan itu serta menggantikannya dengan Pohon Kepercayaan tadi. Namun sayang aku rasa Pohon Kepercayaan itu masih tertanam kuat didirinya.
Aku semakin bingung, apa yang harus kulakukan. Aku tak pernah berada disituasi ini. Aku tak lagi berusaha segiat dahulu. Aku tak lagi mencari sesemangat dahulu. Aku menyerahkan keputusan itu kepada sang pemilik ruang, kamu. Apakah aku harus berhenti dan pergi atau tetap berada diruang itu bersamanya, bersama memupuk pohon lainnya untuk menggantikan Pohon Kepercayaan tadi. Atau malah aku harus tetap diruang itu, tanpa kejelasan.
Ah, aku mulai bingung dengan kerumitan ini. Apakah semua orang juga merasakan hal yang sama untuk sekedar merasakan kebutuhan diri, yaitu merasa menyanyangi dan disayangi? Aku pikir tidak. Atau hanya aku saja yang bodoh? Karena aku tak tahu aku yang harus lakukan. Jujur aku tak pernah berada dalam kondisi ini sebelumnya. Jangan terlalu berharap aku dapat melakukan yang biasa pria lain lakukan untuk mendapatkan kebutuhan itu, tanpa sebelumnya memberitahu aku. Karena aku memang tak tau.
Yang aku tau aku hanya menginginkan bersamamu. Bercengkrama, tertawa bersama denganmu. Dengan kejelasan tentunya. Simple. Itu saja.
I love you. I really really do. I just don’t know how to act, es L

Minggu, 07 Juni 2015

Kusebut itu Pohon Nafsu


Aku pikir ini akhirmya, akhir dari hubungan yang tak pernah nyata seperti halnya alien dan hantu yg tak pernah bisa nyata namun aku berusaha untuk membuatnya terlihat nyata. Hubungan yang kuimpikan layaknya aku memimpikan bulan dan matahari berdampingan diwaktu yg sama, mustahil, tp aku tetap berusaha mewujudkannya. Hubungan yg sedari awal kutau tak berbau sedap seperti halnya durian bagi beberapa orang yg tak menyukainya tapi aku berusaha untuk menikmatinya. Hubungan yang kutau bagaimana akhirnya seperti halnya beberapa ftv yg kutonton di tv namun aku tetap memaksakan untuk merubahnya.

Tapi kini aku sadar akan suatu hal, sesuatu yg dipaksakan tak akan pernah bisa bertahan lama. Aku terlalu memaksakannya. Aku datang disaat dirinya sedang memupuk pohon kepercayaan, pohon yang menjadi penggantinya setelah pohon harapannya tumbang. Aku bagai pohon nafsu yg bila tak sekali disiram akan layu dan mati. Aku terus menuntutnya aku terus memaksakannya.
Sampai akhirnya dia tak sadar sudah menyiram dan memupuk pohon nafsu itu hingga menjadi besar, sangat besar. Namun lama kelamaan dia tersadar, tersadar akan kesalahannya. Dia baru menyadari kesalahannya ketika dia tak bisa menjauhkan pohon itu dari kehidupannya, kehidupannya bersama pohon kepercayaan tadi. Dia tak banyak mengetahui pohon nafsu, karena tak menginginkannya. Yang dia tahu pohon nafsu selalu ada untuknya, benar benar menginginkannya, dan berusaha untuknya. Berbanding terbalik dengan pohon kepercayaan, dia sangat menginginkannya, dia selalu ada untuknya dan selalu berusaha untuknya. Namun kenyataan menyakitinya, pohon kepercayaan tak benar benar menginginkannya.

Kukira dirinya akan berusaha untukku, pohon nafsu, setelah semua pesakitan yg dia alami. Ternyata aku salah, salah besar, dia tetap merawat (kenangan) pohon kepercayaan dan juga pohon harapan tadi, sambil tetap menyirami ku dgn sedikit pupuknya. Namun aku bingung, aku tetap menikmatinya, aneh memang, aku masih bisa bertahan dan selalu berusaha untuknya. Aku tak peduli dengan hembusan angin, hembusan angin yg selalu berusaha mengingatkan, selalu berusaha membangunkanku dari impian semu, hembusan angin yg kusebut sebagai teman. Kadang hembusan angin itu membuatku terbangun, terbangun dari impianku, sejenak aku menyadarinya, namun aku kembali terbuai dgn impianku, impianku sebagai pohon nafsu. Aku tetap bertahan, terus bertahan, dan berusaha bertahan, meskipun kenyataannya dia kembali, kembali kepada pohon kepercayaan itu.

Aku tetap bertahan pada posisiku, meskipun akar akar ku sudah mulai terangkat akibat hembusan angin dan dengan kenyataan itu. Dia tetap menyiramiku, itu salah satu yg membuatku tetap bertahan. Namun bukan itu alasan utamanya, karena aku percaya dirinya meskipun sedikit, selalu percaya akan Allah swt menghadiahi orang orang yg berusaha, sabar dan memiliki niat yg baik dgn hadiah yg indah, sangat indah. Hingga suatu hari kabar itu menyebar, bahwa dirinya menyirami dan memupuk pohon nafsu. Dirinya kaget, bingung, dan tak tau harus bagaimana dirinya, karena ini sama sekali bukan yg dia inginkan. Dia tak pernah menginginkan pohon nafsu itu, mungkin pohon itu dijadikannya sosok yg dia butuhkan saat dia sendiri, sedih ataupun saat dibawah, bukan saat senang ataupun saat diatas, pikirku. Aku bingung, aku tak tau dimana posisiku berada dimatanya. Sekarang kuberikan sepenuhnya keputusan itu kepada dirinya. Tak ada lagi yg bisa kulakukan, cukup menurutku. Meskipun aku memiliki komitmen untuk mempertahankannya. Bukan karena lelah menanti tp harus paham kondisi diri.

Maaf es. Aku tak sehebat pohon harapanmu. Aku tak semenarik pohon kepercayaanmu. Aku hanya pohon nafsu yg bernafsu mewujudkan komitmenku untuk bertahan denganmu. Aku hanya pohon nafsu yang percaya padamu dan berharap atas dirimu.

Terimakasih es. Terimakasih telah menyirami ku dengan tawa dan senyummu. Terimakasih telah memupukku dengan kata kata mu. Terimakasih atas semua pelajaran yg secara tak langsung telah kau berikan, es.

You’ll always be the first, although you never won’t, es.

Aku berusaha. Dirimu yg menentukan. Allah swt yg mengarahkan.

Terimakasih esi :)